Wednesday 20 April 2016

Apa sih Fatwa Itu? Bagaimana Prosesnya?

Kepoisme - Akhir-akhir ini banyak sekali fatwa yang dikeluarkan baik oleh MUI tingkat pusat maupun daerah, Bahkan ada pula beberapa Organisasi atau pemuka agama Islam perorangan yang dengan mudah mengeluarkan sebuah Fatwa.

Hingga sering terlintas di benak kita sebagai orang awam sebuah pertanyaan : Sebenarnya apa sih Fatwa itu? bagaimana proses keluarnya dan kapan dibutuhkan fatwa tersebut?

Definisi dan Contoh Fatwa


Dijelaskan oleh Dr. Aam Amirudin, yang kepoisme kutip dari laman pribadinya menjelaskan Fatwa merupakan hasil perenungan orang-orang yang ahli di bidangnya. Fatwa sangat terkait dengan ijtihad. Dalam definisi Ijtihad sering diungkap baghulul wus’i finali hukmin sayaar’iyin bistin batil akhka minal qur’ani wal sunnah yaitu usaha orang-orang yang faham untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian dengan melihat isyarat-isyarat dari Al Quran dan Sunnah.

Sifat fatwa tidak mengikat bagi orang yang tidak meyakini, fatwa itu mengikat kalau kita yakin dengan fatwa itu. Misalnya fatwa yang menyatakan bahwa rokok itu haram, kalau kita berkeyakinan merokok itu tidak maslahat maka sebaiknya fatwa itu kita pegang, tetapi kita harus menghargai kepada orang yang punya alasan tertentu sehingga berpendapat merokok itu tidak disebut haram.

Contoh lain fatwa yang menyatakan bunga bank itu haram. Tidak semua ulama sepakat bahwa bank konvensional itu haram. Ada yang mengatakan kalau bunga bank tidak mencapai 2 kali lipat maka itu sesuatu yang boleh.

Makanya saat ini kita lihat betapa banyak orang yang masih menggunakan bank konvensional. Diakui sekarang ini banyak keluar fatwa.

Sebenarnya fatwa itu untuk sesuatu yang dianggap belum ada hukumnya dan fatwa itu mengikat bagi yang meyakininya. Bagi anda yang tidak meyakininya fatwa tidak mengikat, tetapi lebih bersifat wacana intelektual, artinya masih bisa didiskusikan.

Oleh karena itu hukum-hukum yang sudah jelas tidak usah difatwakan. Hal-hal yang sudah eksplisit di dalam Quran dan hadits sudah tidak perlu dikeluarkan fatwa, karena nabi yang langsung mengeluarkan penetapan itu.

Contoh fatwa bahwa minuman keras haram, korupsi adalah haram, masalah ini sudah tidak perlu menyebut fatwa, karena minuman keras adalah haram, korupsi sudah jelas diharamkan.

Menurut Ustadz Aam Amiruddin, fatwa itu jangan terlalu sering dikeluarkan karena akan membuat fatwa itu sendiri menjadi tidak berwibawa.

"Keluarkan Fatwa untuk hal-hal yang prinsipil, misalnya fatwa menggunakan faksin yang mengandung unsur babi".

Fatwa bahwa sebelum ada alternatif faksin yang halal maka faksin yang ada bisa digunakan. Ini fatwa yang betul, artinya lebih bersifat memberikan solusi, karena disinyalir bahwa bahan dari faksin itu ada yang mengandung haram maka orang bertanya tentang ibadah haji atau umroh yang akan dilaksanakan. Maka membutuhkan fatwa. Keluarlah fatwa bahwa selama masih ada faksin yang halal harus menggunakan yang halal. Tetapi kalau sudah tidak ada yang halal karena kedaruratan tertentu maka boleh digunakan dan sama sekali tidak merusak ibadah haji atau umroh seseorang.

Kalau fatwa itu terlalu sering diungkap, apa yang terjadi? itu akan mengakibatkan tidak ada gregetnya lagi. Nah sekarang ini saya khawatir saking seringnya keluar fatwa orang menjadi tidak acuh lagi.

Sebagai contoh fatwa perempuan tidak boleh naik ojeg. Sementara ada perumahan yang untuk menuju kesana kendaraan yang bisa hanyalah ojeg. Menurut saya tidak usah dikeluarkan fatwa seperti itu. Kembali saja pada nurani. Kalau ada perempuan naik ojeg, biar saja mencari solusi sendiri.

Fatwa seperti ini hanya akan menjadi bahan tertawaan dan akhirnya menjadi tidak ngaruh karena memang tidak realistis. Fatwa akhirnya menjadi kontra produktif.

Sumber : Ustadz Aam Amiruddin

No comments:

Post a Comment