Para kepoers yg semoga dirohmati oleh Alloh Ta’ala. Belakangan ini di antara kita pernah mendengar mengenai fatwa haramnya Facebook, sebuah layanan pertemanan di dunia maya yg hampir serupa dengan Friendster dan layanan pertemanan lainnya. Banyak yg bingung dalam menyikapi fatwa semacam ini. Namun, bagi orang yg diberi anugerah ilmu oleh Alloh tentu tidak akan bingung dalam menyikapi fatwa tersebut.
Baca juga: Ciri - ciri kecanduan facebook
Dalam tulisan yg singkat ini, dengan izin dan pertolongan Alloh kami akan membahas tema yg cukup menarik ini, yg sempat membuat sebagian orang kaget. Tetapi sebelumnya, ada beberapa preface yg akan kami kemukakan. Semoga Alloh memudahkannya.
Dua Kaedah yg Mesti Diperhatikan.
Kepoers, yg semoga selalu mendapatkan taufik dan hidayah Alloh Ta’ala. Dari hasil penelitian dari Qur’an dan AsSunnah, para ulama membuat dua kaedah ushul fiqih berikut ini:
Hukum asal untuk perkara ibadah adalah terlarang dan tidaklah disyari’atkan sampai Alloh dan Rosul-Nya mensyari’atkan.
Sebaliknya, hukum asal untuk perkara ‘aadat (non ibadah) adalah dibolehkan dan tidak diharamkan sampai Alloh dan Rosul-Nya melarangnya.
Apa yang dimaksud dua kaedah di atas?
Untuk kaedah pertama yaitu hukum asal setiap perkara ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yg mensyariatkannya. Sebagaimana yg kita ketahui bahwa ibadah adalah sesuatu yg diperintahkan atau dianjurkan oleh Alloh dan Rosul-Nya. Barangsiapa yg memerintahkan atau menganjurkan suatu amalan yg tidak ditunjukkan oleh Al Qur’an dan hadits, maka orang seperti ini berarti telah mengada-ada dalam beragama (baca: berbuat bid’ah). Amalan yg dilakukan oleh orang semacam ini pun tertolak karena Nabi shollalloohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718)
Namun, untuk perkara ‘aadat (non ibadah) seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dan mu’amalat, hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali jika ada dalil yg mengharamkannya. Dalil untuk kaedah kedua ini adalah firman Alloh Ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
“Dia-lah Alloh, yg menjadikan segala yg ada di bumi untuk kamu”.
(QS. Al-Baqoroh: 29).
Maksudnya, adalah Alloh menciptakan segala yg ada di muka bumi ini untuk dimanfaatkan. Itu berarti diperbolehkan selama tidak dilarangkan oleh syari’at dan tidak mendatangkan bahaya.
Alloh Ta’ala juga berfirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللّهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِي لِلَّذِينَ آمَنُواْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yg mengharamkan perhiasan dari Alloh yg telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yg mengharamkan) rezki yang baik?”
Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yg beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat .” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yg mengetahui.”
(QS. Al-A’raaf: 32).
Dalam ayat ini, Alloh Ta’ala mengingkari siapa saja yg mengharamkan makanan, minuman, pakaian, dan semacamnya.
Jadi, jika ada yg menanyakan mengenai hukum makanan “tahu”? Apa hukumnya? Maka jawabannya adalah “tahu” itu halal dan diperbolehkan.
Begitu pula jika ada yg menanyakan mengenai jual beli laptop? Apa hukumnya? Jawabannya adalah halal dan diperbolehkan.
Jadi, untuk perkara non ibadah seperti tadi, hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yg mengharamkannya, seperti caranya mendapatkannya yg melanggar ketentuan Alloh.
Makan bangkai menjadi haram, karena dilarang oleh Alloh dan Rosul-Nya. Begitu pula pakaian sutra bagi laki-laki diharamkan karena ada dalil yg menunjukkan demikian. Namun asalnya untuk perkara non ibadah adalah halal dan diperbolehkan.
Oleh karena itu, jika ada yg menanyakan pada kami bagaimana hukum Facebook? Maka kami jawab bahwa hukum asal Facebook adalah sebagaimana handphone, email, website, blog, radio dan alat-alat teknologi lainnya yaitu sama-sama mubah dan diperbolehkan.
Hukum Sarana sama dengan Hukum Tujuan
Perkara mubah (yg dibolehkan) itu ada dua macam. Ada perkara mubah yang dibolehkan dilihat dari dzatnya dan ada pula perkara mubah yang menjadi wasilah (perantara) kepada sesuatu yg diperintahkan atau sesuatu yg dilarang.
Syaikh ‘Abdurrohman bin Nashir AsSa’di –rohimahulloh- mengatakan,
“Perkara mubah dibolehkan dan diizinkan oleh syari’at untuk dilakukan. Namun, perkara mubah itu dapat pula mengantarkan kepada hal-hal yg baik maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yg diperintahkan. Perkara mubah terkadang pula mengantarkan pada hal yg jelek, maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yg dilarang.
Inilah landasan yg harus diketahui setiap muslim bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan (al wasa-il laha hukmul maqhosid).”
Maksud perkataan beliau di atas:
Apabila perkara mubah tersebut mengantarkan pada kebaikan, maka perkara mubah tersebut diperintahkan, baik dengan perintah yg wajib atau pun yg sunnah. Orang yg melakukan mubah seperti ini akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya.
Misalnya : Tidur adalah suatu hal yg mubah. Namun, jika tidur itu bisa membantu dalam melakukan ketaatan pada Alloh atau bisa membantu dalam mencari rizki, maka tidur tersebut menjadi mustahab (dianjurkan/disunnahkan) dan akan diberi ganjaran jika diniatkan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Alloh.
Namun jika saat santai lalu datang waktu sholat terdengar adzan malah tidur, maka tidur ini jadi makruh bahkan jadi terlarang.
Begitu pula jika perkara mubah dapat mengantarkan pada sesuatu yg dilarang, maka hukumnya pun menjadi terlarang, baik dengan larangan haram maupun makruh.
Misalnya : Terlarang menjual barang yg sebenarnya mubah namun nantinya akan digunakan untuk maksiat. Seperti menjual anggur untuk dijadikan khomr (minuman keras).
Contoh lainnya adalah makan dan minum dari yg thoyib dan mubah, namun secara berlebihan sampai merusak sistem pencernaan, maka ini sebaiknya ditinggalkan (makruh).
Bersenda gurau atau guyon juga asalnya adalah mubah. Sebagian ulama mengatakan, “Canda itu bagaikan garam untuk makanan. Jika terlalu banyak tidak enak, terlalu sedikit juga tidak enak.” Jadi, jika guyon tersebut sampai melalaikan dari perkara yang wajib seperti shalat atau mengganggu orang lain, maka guyon seperti ini menjadi terlarang.
Oleh karena itu, jika sudah ditetapkan hukum pada tujuan, maka sarana (perantara) menuju tujuan tadi akan memiliki hukum yg sama. Perantara pada sesuatu yg diperintahkan, maka perantara tersebut diperintahkan. Begitu pula perantara pada sesuatu yg dilarang, maka perantara tersebut dilarang pula. Misalnya tujuan tersebut wajib, maka sarana yg mengantarkan kepada yg wajib ini ikut menjadi wajib.
Contohnya : Menunaikan sholat lima waktu adalah sebagai tujuan. Dan berjalan ke tempat sholat (masjid) adalah wasilah (perantara). Maka karena tujuan tadi wajib, maka wasilah di sini juga ikut menjadi wajib. Ini berlaku untuk perkara sunnah dan seterusnya.
Intinya, Hukum Facebook adalah Tergantung Pemanfaatannya
Jadi intinya, hukum facebook adalah tergantung pemanfaatannya. Kalau pemanfaatannya adalah untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat, maka facebook pun bernilai sia-sia dan hanya membuang-buang waktu. Begitu pula jika facebook digunakan untuk perkara yg haram, maka hukumnya pun menjadi haram. Hal ini semua termasuk dalam kaedah “al wasa-il laha hukmul maqhosid (hukum sarana sama dengan hukum tujuan).” Di bawah kaedah ini terdapat kaedah derivat atau turunan lainnya yaitu:
Maa laa yatimmul wajibu illah bihi fa huwa wajib (Suatu yg wajib yg tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi wajib)
Maa laa yatimmul masnun illah bihi fa huwa masnun (Suatu yg sunnah yg tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi sunnah)
Maa yatawaqqoful haromu ‘alaihi fa huwa haromun (Suatu yg bisa menyebabkan terjerumus pada yg haram, maka sarana menuju yg haram tersebut menjadi haram)
Wasail makruh makruhatun (Perantara kepada perkara yang makruh juga dinilah makruh)
Maka lihatlah kaedah derivat yg ketiga di atas. Intinya, jika facebook digunakan untuk yg haram dan sia-sia, maka facebook menjadi haram dan terlarang.
Kita dapat melihat bahwa tidak sedikit di antara pengguna facebook yg melakukan hubungan gelap di luar nikah di dunia maya. Padahal lawan jenis yg diajak berhubungan bukanlah mahram dan bukan istri. Sungguh, banyak terjadi perselingkuhan karena kasus semacam ini. Jika memang facebook banyak digunakan untuk tujuan-tujuan semacam ini, maka sungguh kami katakan, “Hukum facebook sebagaimana hukum pemanfaatannya. Kalau dimanfaatkan untuk yang haram, maka facebook pun menjadi haram.”
Waktu yang Sia-sia Di Depan Facebook
Kepoers, inilah yang kami ingatkan untuk para pengguna facebook. Ingatlah waktumu! Kebanyakan orang betah berjam-jam di depan facebook, bisa sampai 5 jam bahkan seharian, namun mereka begitu tidak betah di depan Al-Qur’an dan majelis ilmu. Sungguh, ini yg kami sayangkan bagi saudara-saudaraku yg begitu gandrung dengan facebook.
Semoga beberapa nasehat ulama kembali menyadarkanmu tentang waktu dan hidup ini.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Aku pernah bersama dengan seorang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”
Lanjutan dari perkataan Imam Asy Syafi’i di atas, “Kemudian orang sufi tersebut menyebutkan perkataan lain: Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yg sia-sia (batil).”
(Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan, “Waktu manusia adalah umurnya yg sebenarnya. Waktu tersebut adalah waktu yg dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yg abadi dan penuh kenikmatan dan terbebas dari kesempitan dan adzab yg pedih. Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih cepat dari berjalannya awan (mendung). Barangsiapa yg waktunya hanya untuk ketaatan dan beribadah pada Alloh, maka itulah waktu dan umurnya yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai kehidupannya, namun hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.”
Ingatlah … kematian lebih layak bagi orang yang menyia-nyiakan waktu.
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yg membuat lalai, untuk sekedar menghamburkan syahwat (hawa nafsu), berangan-angan yg batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan, maka sungguh kematian lebih layak bagi dirinya.” (Al Jawabul Kafi, 109)
Marilah Memanfaatkan Facebook untuk Dakwah
Inilah pemanfaatan yg paling baik yaitu facebook dimanfaatkan untuk dakwah. Betapa banyak orang yg senang dikirimi nasehat agama yang dibaca di inbox, note atau melalui link mereka. Banyak yg sadar dan kembali kepada jalan kebenaran karena membaca nasehat-nasehat tersebut.
Oleh karena itu, jadilah orang yg bermanfaat bagi orang lain apalagi dalam masalah agama, yg tentu saja dengan bekal ini akan mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dari Jabir, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yg paling memberikan manfaat bagi orang lain.” (Al Jaami’ Ash Shogir, no. 11608)
Dari Abu Mas’ud Al Anshori, Nabi shollalloohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa memberi petunjuk pada orang lain, maka dia mendapat ganjaran sebagaimana ganjaran orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Rosululloh shollalloohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Jika Alloh memberikan hidayah kepada seseorang melalui perantaraanmu maka itu lebih baik bagimu daripada mendapatkan unta merah (harta yg paling berharga orang Arab saat itu).” (HR. Bukhori dan Muslim)
Lihatlah saudaraku, bagaimana jika tulisan kita dalam note, status, atau link di facebook dibaca oleh 5, 1o bahkan ratusan orang, lalu mereka amalkan, betapa banyak pahala yg kita peroleh. Jadi, facebook jika dimanfaatkan untuk dakwah semacam ini, sungguh sangat bermanfaat.
Penutup: Nasehat bagi Para Pengguna Facebook
Imam Asy Syafi’I mengatakan, “Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yg baik, pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil)”.
( Al Jawabul Kafi, 109)
Semoga kita selalu disibukkan dengan hal yg dapat memberikan manfaat pada orang lain. Alangkah bagusnya jika status, note dan link yang kita berikan pada saudara-saudara kita berisi siraman-siraman rohani. Itu lebih baik dan lebih bermanfaat dibandinga dengan mengisi status di FB dengan hal-hal yang sia-sia atau bahkan dosa.
Kami hanya bisa berdoa kepada Alloh, semoga Alloh memberikan taufik dan hidayah bagi orang yg membaca tulisan ini. Semoga kita dimudahkan oleh Alloh untuk memanfaatkan waktu dengan baik, dalam hal-hal yg bermanfaat.
Alhamdulillahilladzii bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Wa shollalloohu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. (Abu Naida)
Rujukan:
Al-Jawabul Kafi, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
Al-Qowa’id wal Ushul Al-Jaami’ah, Abdurrohman bin Nashir AsSa’di, Darul Wathon Lin Nasyr
Jam’ul Mahshul fi Syarhi Risalah Ibni Sya’di fil Ushul, Abdulloh bin Sholeh Al-Fauzan, Dar Al Muslim
Risalah Lathifah, Abdurrohman bin Nashir As Sa’di
***
Pengembangan dari artikel oleh: Muhammad Abduh Tuasikal.
sumber
[…] BACA: BINCANG BINCANG HUKUM FACEBOOK […]
ReplyDelete