Wednesday, 20 January 2016

Hukum Membunuh Teroris Menurut Islam

Kepoisme - Masih ingat dengan Aksi Heroik AKBP Untung Sangaji, sosok berbaju putih yang terekam dalam sebuah video detik-detik bom Sarinah yang menjadi pusat perhatian masyarakat Indonesia?.


Ya, Aksi heroiknya menumpas para teroris walau tanpa mengenakan rompi anti peluru itu membuat masyarakat kagum. Beliau menembak mati teroris dengan pistolnya yang dijuluki "pistol maut.


Lantas bagaimanakah  hukum membunuh teroris dalam hukum Islam?


Dalam Islam, pembunuhan  merupakan jarimah (tindak kriminal), pelakunya diancam dengan hukuman yang berat sebagaimana  ditetapkan syariat. Islam menetapkan hukum qisash (hukum mati) bagi seorang pembunuh. Tetapi dalam kasus ini, Polisi pembunuh teroris bisa digolongkan kepada pembunuh yang melakukan pembelaan (ad-difaa’ as-syar’iy), Yakni orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’iy berhak


Sebagai contoh, ketika seseorang berhadapan dengan pelaku teror yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata tajam, bermaksud membunuhnya atau merenggut kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan.


Begitupun, ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun berhak melakukan pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan kadar bahaya yang dihadapinya. Kalau seseorang yang bermaksud jahat itu cukup diingatkan dengan kata-kata, seperti memintanya beristigfar,  atau teriakan meminta pertolongan kepada orang di sekitar tempat kejadian, maka haram bagi korban melakukan pemukulan.


Begitu pun jika ia dapat melakukan pembelaan itu cukup dengan memukul, maka ia tidak dibenarkan untuk menggunakan senjata. Namun bila pembelaan atas dirinya tidak mungkin dilakukan kecuali dengan senjata yang dapat melumpuhkannya, seperti dengan pentungan misalnya, maka ia boleh melakukannya, namun tidak dibenarkan baginya untuk membunuh. Akan tetapi, bila pembelaan itu hanya mungkin dilakukan dengan membunuhnya, seperti dalam kondisi seperti teror di sarinah, dimana pelaku sudah  mengacungkan pistol, maka bagi korban berhak untuk membunuhnya, (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/597).


Dan bagi polisi tersebut baginya tidak akan diberlakukan hukum qishas ataupun diyat. Sebab, membela diri, harta dan kehormatan dari seorang pembunuh (daf’u ash-shoil) merupakan rukshoh (keringan) yang ditetapkan syariat kepada korban sebagaimana akan kami jelaskan dalam tulisan ini.


Dalil masalah ini adalah firman Allah Swt:




فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم، واتقوا الله ، واعلموا أن الله مع المتقين


Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 2:194)



Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan adanya kesamaan dalam menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat konsekuensi, seperti membunuh.


Sementara dalam as-sunnah, Rasulullah Saw. bersabda:




من قتل دون دينه فهو شهيد، ومن قتل دون دمه فهو شهيد، ومن قتل دون ماله فهو شهيد، ومن قتل دون أهله فهو شهيد (رواه أصحاب السنن الأربعة)


Siapa saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela jiwanya maka ia syahid,   siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan keluarganya maka ia syahid” (HR. Abu Daus, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah)



Sifat syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh sang pelaku.


Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, adalah hadis riwayat Anas Ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda :




انصر أخاك ظالماً أو مظلوماً، قيل: كيف أنصره ظالماً؟ قال: تحجزه عن الظلم، فإن ذلك نصره (رواه البخاري وأحمد والترمذي)


Tolonglah saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya: “bagaimana cara aku menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab: “kau cegah ia untuk melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah menolongnya” (HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi).



Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda:




من أذل عنده مؤمن، فلم ينصره، وهو يقدر على أن ينصره، أذله الله على رؤوس الأشهاد يوم القيامة (رواه أحمد)


 “Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal ia mampu untuk melakukannya, niscaya Allah Saw. akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia” (HR. Ahmad)



Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqun wajib), ataukah sekedar boleh (haqun ja’iz),  maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.


Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh) menurut  madzhab al-hanabilah dan wajib menurut pandangan jumhur fuqoha (al-malikiyyah, al-hanafiyyah, dan as-syafiiyah). Hanya saja madzhab syafiiy memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya orang kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Saw:


كن خير ابني آدم (رواه أبو داود)


jadilah sebaik-baiknya bani adam (Rawa Abu Daud).


Perintah untuk menjadi sebaik-baik bani Adam dalam hadis ini adalah isyarah pada kisah Qabil dan Habil, dimana Habil terbunuh tanpa melakukan perlawanan. Sikap seperti ini pula yang mashur ditengah-tengah para sahabat, tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, sebagaimana kasus pembunuhan ‘Utsman Ibnu ‘Affan. Selain itu, dalil lain yang dijadikan dasar oleh madzhab as-Syafiiy adalah bahwa membela diri sendiri,  sama wajibnya dengan membela diri sesama muslim, karena ta’arudh (pertentangan) inilah mereka berpendapat bahwa hukum membela diri dalam kontek ini hukumnya hanya mubah. Sementara madzhab jumhur  yang lain berpegang pada firman Allah Swt:


{ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة}


Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS. 2:195)


Dan firman Allah Swt:




{فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله }


Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah, (QS. 49:9)



Tidak Ada Sanksi


Para fuqha sepakat bahwa siapa saja yang membunuh pelaku kejahatan (as-shoil) demi melakukan pembelaan, maka tidak ada sanksi baginya, baik berupa qishash maupun diyat. Sebab, hal itu merupakan rukhsoh (keringanan) yang diberikan syara’ sebagaimana dijelaskan di  atas. Selain dalil-dalil yang menjadi dasar adanya rukhsoh tadi, juga terdapat dalil-dalil khusus terkait kehalalan darah para sang pelaku. Di antaranya sabda Rasulullah Saw:


من شهر سيفه ثم وضعه فدمه هدر (رواه الإمام الحاكم)


 “siapa saja yang menghunus pedang kemudian memukulkannya (kepada orang lain) maka halal darahnya(HR. al-hakim)


Imam ad-Dzahabi memberikan ta’liq (komentar) dalam kitab at-Talkhis, bahwa hadis ini shohih berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan muslim, meski keduanya tidak men-takhrij hadis ini dalam kitab shahihnya.


Terkait orang yang membunuh karena membela hartanya, Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. lalu bertanya:


يا رسول الله ، أرأيت إن جاء رجل يريد أخذ مالي؟ قال: فلا تعطه مالك، قال: أرأيت إن قاتلني؟ قال: قاتله، قال: أرأيت إن قتلني؟ قال: فأنت شهيد، قال: أرأيت إن قتلتُه؟ قال: هو في النار (رواه مسلم)


Wahai Rasulullah: “bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang hendak mengambil hartaku.?”. Beliau menjawab: “jangan kau berikan”. Laki-laki itu bertanya lagi: “Bagaimana jika ia menyerangku”.?. Beliau menjawab: “Engkau lawan”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika ia berhasil membunuhku.?”. Beliau menjawab: “kamu syahid“. Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika aku yang berhasil membunuhnya..?”. Beliau menjawab: “Dia masuk neraka“ (HR. muslim).


Kebolehan membunuh pelaku yang ditegaskan Rasulullah Saw. menunjukan hilangnya sanksi bagi pembunuh karena membela hartanya itu. Sebab, sanksi tidak diterapkan dalam  perkara yang mubah. Begitupun pembelaan terhadap kehormatan, dalil-dalil di atas sudah cukup sebagai dasar dihilangkannya sanksi dari pembunuh dengan alasan membela kehormatan. Bahkan, ulama empat madzhab sepakat bahwa siapa saja yang mendapati istrinya berzina dengan laki-laki lain, lalu ia membunuh laki-laki tersebut, maka tidak ada qishash atau pun diyat baginya, (Lihat: Ibnu Quddamah, al-Mugni, 8/332).


Namun, pelaksanaan hukum ini tentu perlu dibuktikan dipengadilan, apakah benar bahwa seseorang itu membunuh karena membela diri, atau bukan. Jika terbukti bahwa ia membunuh karena membela diri, harta, dan kehormatannya maka ia terbebas dari hukuman qishash dan diyat, baik pembuktian tersebut melalui keberadaan dua orang saksi, pengakuan keluarga terbunuh, atau indikasi-indikasi lain yang menunjukan bahwa pelaku membunuh korban karena membela diri, seperti ancaman sang korban dimuka umum, atau ia adalah seorang teroris. Wallahu a’lam bi as-showab. (RZL)


Sumber: (Abu Muhtadi/Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI)

No comments:

Post a Comment