Selain itu, yang membedakan antara Muslim dengan kafir adalah Sholat, dan Sholat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Sholat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Sholat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Dan didalam Islam yang sangat fleksibel, Alloh telah memberikan beberapa opsi yang mempermudah kita untuk tetap melaksanakan Sholat, walaupun kita berada didalam perjalanan supaya kita tetap dapat melaksanakan sholat.
Dalam artikel kali ini, penulis akan membahas tentang QOSHOR.
MAKNA DAN HUKUM QOSHOR.
Qoshor adalah meringkas sholat empat rokaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rokaat.[1]
Dasar mengqoshor sholat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para ulama).[2]
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
"Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir"
[An-Nisaa'/4: 101]
Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Khoththob rodhiallohu 'anhu tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal manusia telah aman ?!. Shohabat Umar rodhiallohu anhu menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab:(Qoshor itu) adalah sedekah dari Alloh kepadamu, maka terimalah sedekah Alloh tersebut.[3]
"Dari 'Ibnu Abbas rodhiallohu anhuma berkata: Alloh menentukan sholat melalui lisan Nabimu shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam empat roka'at apabila hadhor (mukim) dan dua roka'at apabila safar"[4]
"Dari Umar rodhiallohu anhu berkata: Sholat safar (musafir) adalah dua roka'at, sholat Jum'at adalah dua roka'at dan shalat 'Ied adalah dua roka'at"[5]
Dari 'Ibnu Umar rodhiallohu 'anhuma berkata: "Aku menemani Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua roka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar rodhiallohu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua roka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar rodhiallohu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua roka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman rodhiallohu 'anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua roka'at sampai wafat. Dan Alloh subhaanahu wa ta'ala telah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri tauladan yang baik bagimu."[Al-Ahzaab/33 : 21][6]
Berkata Anas bin Malik rodhiallohu anhu: "Kami pergi bersama Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun sholat dua-dua (qoshor) sampai kami kembali ke kota Madinah”[7]
JARAK SAFAR YANG DIBOLEHKAN QOSHOR.
Qoshor hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qoshor apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian umumnya. Sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo meter (80 km) agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shohih yang jelas.[8]
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya qoshor sholat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad.[9]
Seorang musafir diperbolehkan mengqoshor sholatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya.[10]
Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rosulullah shollallohu alaihi wa ala alihi wa sallam mengqoshor dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.
Berkata Anas rodhiallohu anhu : Aku sholat bersama Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam di kota Madinah empat roka'at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua roka'at" [11]
SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH QOSHOR..??
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqoshor (meringkas) sholat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali rohimahumulloh berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rosyid Ridho, Syaikh Abdur Rohman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rohimahumulloh berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqoshor sholat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang shohih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Shohabat Jabir rodhiallohu 'anhu meriwayatkan, bahwasanya Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqoshor sholat.[12]
Shohabat Ibnu Abbas rodhiallohu 'anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqoshor sholat.[13]
Nafi' rohimahulloh meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar rodhiallohu 'anhuma tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan mengqoshor sholat.[14]
Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqoshor sholat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut.[15]
SHOLAT TATHOWWU / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR.
Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathowwu bagi musafir yang mengqoshor sholatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rowatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam sholat delapan raka'at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar.[16]
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) sholat sunnah rowatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar rodhiallohu 'anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang sholat sunnah rowatib setelah selesai sholat fardhu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku sholat sunnah rowatib setelah sholat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan sholatku (maksudnya tidak mengqoshor). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua roka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar rodhiallohu 'anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua roka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar rodhiallohu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua roka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman rodhiallohu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua roka'at sampai wafat. Dan Alloh subhaanahu wa ta'ala telah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri tauladan yang baik bagimu”.[Al-Ahzaab: 21][17]
Adapun sholat-sholat sunnah/nafilah/tathowwu' lainnya seperti sholat malam, witir, sunnah fajar, dhuha, sholat yang ada sebab –sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathowwu muthlak adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di syari'atkan berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini.[18]
JAMA'.
Menjama' sholat adalah mengabungkan antara dua sholat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama'taqdim dan jama'ta'khir.[19]
Jama' taqdim adalah menggabungkan dua sholat dan dikerjakan dalam waktu sholat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan sholat dan tidak boleh terbalik.
Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua sholat dan dikerjakan dalam waktu sholat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam.[20]
Menjama' sholat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja.[21]
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22] , turunnya hujan [23] , dan orang sakit.[24]
Berkata Imam Nawawi rohimahulloh:Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama' sholatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan."[25]
Dari Ibnu Abbas rodhiallohu 'anhuma berkata, bahwasanya Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas rodhiallohu 'anhuma beliau menjawab: Bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya.[26]
MENJAMA' JUM'AT DENGAN ASHAR.
Tidak diperbolehkan menjama' (menggabung) antara sholat Jum'at dan sholat Ashar dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara Dhuhur dan Ashar.
Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.[27]
Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.[28]
Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan sholat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama' (menggabungnya) dengan sholat lain.[29]
JAMA' DAN SEKALIGUS QOSHOR.
Tidak ada kelaziman antara jama' dan qoshor. Musafir di sunnahkan mengqoshor sholat dan tidak harus menjama', yang afdhol bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqoshor saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rosulullaloh shollallohu alaihi wa sallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya mengqoshor saja tanpa menjama,[30] dan beliau shollallohu alaihi wa'ala alihi wa sallam pernah melakukan jama' sekaligus qoshor pada waktu perang Tabuk.[31] Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam selalu melakukan jama' sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan.[32] Jadi Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam sedikit sekali menjama' sholatnya karena beliau shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam melakukannya ketika diperlukan saja.[33]
MUSAFIR SHOLAT DI BELAKANG MUKIM.
Sholat berjama'ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir sholat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti sholat imam tersebut yaitu empat rokaat, namun apabila dia sholat bersama-sama musafir maka sholatnya di qoshor (dua roka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas rodhiallohu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami melakukan sholat empat roka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami sholat dua roka'at ? Ibnu Abbas rodhiallohu 'anhuma menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qosim (Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam)" [34]
MUSAFIR MENJADI IMAM ORANG MUKIM.
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqoshor sholatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan sholat mereka sampai selesai (empat roka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia sholat qoshor dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan sholat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua roka'at. Hal ini pernah di lakukan Rosululloh shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam berkata: Sempurnakanlah sholatmu (empat roka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.[35] Beliau shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam sholat dua-dua (qoshor) dan mereka meneruskan sampai empat roka'at setelah beliau salam.[36]
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia sholat empat roka'at (tidak mengqoshor) maka tidaklah mengapa karena hukum qoshor adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib.[37]
SHOLAT JUM'AT BAGI MUSAFIR.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada sholat Jum'at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan sholat Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti sholat um'at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll.[38]
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak sholat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak melaksanakan sholat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar[39]. Demikian pula para Khulafa Ar-Rosyidun (empat khalifah) rodhiallohu 'anhum dan para shohabat lainnya rodhiallohu 'anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak sholat Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur.[40]
Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rohman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqoshor sholat dan tidak sholat Jum'at"
Shohabat Anas rodhiallohu 'anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan sholat Jum'at.
Ibnul Mundzir -rohimahulloh menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang berdasarkan hadis shohih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya.[41]
Walloohu A'laam dan Semoga Bermanfaat.
[Pengembangan dari penyusun oleh Abdullah Shaleh Al-Hadrami, Malang, Jawa Timur]
_______
pustaka
[1]. Lihat Tafsir Ath-Thobari 4/244, Mu'jamul Washit hal 738.
[2]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu' Syaroh Muhadzdzab 4/165.
[3]. HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al- Qurthubi 5/226-227.
[4]. HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll.
[5]. HR. Ibnu Majah dan An-Nasa'i dll dengan sanad shohih. Lihat shohih Ibnu Majah 871 dan Zaadul Ma'ad, Ibnul Qoyim 1/467
[6]. HR. Bukhori dan Muslim dll. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnati wal Kitabil Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Kholafi 138.
[7]. HR. Bukhori dan Muslim.
[8]. Lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma'ad, Ibnul Qoyyim
1/481, Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As-Sholah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thoyyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Kholafi 138 dll.
[9]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265.
[10]. Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Kholafi 138
[11]. HR. Bukhori, Muslim dll.
[12]. HR. Imam Ahmad dll dengan sanad shohih.
[13] HR. Bukhori dll
[14]. Riwayat Al-Baihaqi dll dengan sanad shohih
[15]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa'ul Gholil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312.
[16]. HR. Bukhori dan Muslim.
[17]. HR. Bukhori. Lihat Zaadul Ma'ad, Ibnul Qoyyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254.
[18].Kitab Ad-Dakwah, Bin Baz, lihat As-Sholah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thoyyar 308.
[19]. Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317.
[20]. Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Sholah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thoyyar 177.
[21]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317.
[22]. HR. Bukhori dan Muslim
[23]. HR. Muslim, Inbu Majah dll.
[24]. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Kholafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317
[25]. Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141.
[26]. HR. Muslim dll. Lihat Sahihul Jami¡¦ 1070.
[27]. HR. Bukhori 2697 dan Muslim 1718.
[28]. HR. Muslim.
[29]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378
[30]. Lihat Sifat haji Nabi shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam karya Al-Albani.
[31]. HR. Muslim. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-309.
[32]. As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thoyyar 181. Pendapat ini adalah merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz.
[33]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308.
[34]. Riwayat Imam Ahmad dengan sanad shohih. Lihat Irwa'ul Ghalil no
571 dan Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani 317
[35]. HR. Abu Dawud..
[36]. Lihat Al-Majmu' Syaroh Muhadzdzab 4/178 dan Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269
[37]. Lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rohman Al- Bassam 2/294-295
[38]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu'Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370.
[39].Lihat Hajjatun Nabi shollallohu alaihi wa'ala alihi wasallam Kama Rowaaha Anhu Jabir -rodhiallohu 'anhu, Karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.
[40]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.
[41]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216
No comments:
Post a Comment