Thursday, 11 February 2016

Sinetron oh Sinetron

Kepoisme - Tayangan televisi yang tengah hits dan kekinian ditonton masyarakat justru sesuatu yang berada di luar keseharian mereka. Sesuatu yang berada di jauh dari realita, menenggelamkan diri dalam kesilauan khayal yang membebaskan dari kondisi tertekan berbagai persoalan hidup sehari-hari. Sinetron penjual mimpilah yang bisa menjadi obat sementara untuk melupakan sesaat atas kondisi kehidupan yang sesungguhnya. Sehingga lagi-lagi tidak heran jika sebagain besar penggemar setia sinetron adalah segmen masyarakat kelas menengah ke bawah yang ingin menghibur diri dari berbagai persoalan hidup, yang di sayangkan cerita sinetron menjadi terbawa dalam keseharian si pemirsa menjadikan mereka hidup di dunia khayal tidak berpijak pada realita yang justru melemahkan diri sendiri.

Sudah menjadi hal yang di anggap wajar kekurangan dan keburukan sinetron, episode yang dipanjang-panjangkan, jiplakan, sekuel yang dipaksakan, skenario monoton, adopsi mentah-mentah tayangan dari luar, bukan lagi masalah. Belum lagi sinetron yang hanya menjual wajah tampan/cantik (orientasi fisik), kesyirikan yang berkedok religius, hal-hal klise yang di tonjolkan, juga menampilkan unsur SARA.

Kesadaran sebagian besar masyarakat yang ingin memperbaiki kondisi tersebut seolah hanya berkutat di jalan buntu. Hanya berputar-putar di lingkaran setan yang teramat sulit diputus antara selera masyarakat, rating dan sponsor. Ketika sinetron kian di gemari, maka stasiun TV pun akan terus menerus menayangkannya, menarik pemirsa untuk mendongkrak rating sebagai modal utama untuk menarik para pengiklan. Peliknya dilema antara perut dan intelektualitas

Media massa dalam hal ini televisi dan tayangan sinetronnya hanya mampu di sebut sebagai industri hiburan saja, tidak mampu turut menjadi penggerak pembangun karakter bangsa. Layaknya sebuah industri maka orientasi produk yang diciptakan selalu bergantung pada pada konsumsi massa. Proses produksinya senantiasa mengedepankan kepentingan material dan hiburan semata, tidak lebih.

Seharusnya televisi sebagai media rujukan bagi sebagian besar masyarakat harus mampu memberikan tayangan-tayangan yang positif, bermuatan edukatif kreatif dan bermanfaat. Jika sinetron tayangan yang menjual mimpi, konflik, kekerasan, mistik, skandal, selingkuh, rebutan harta, kekuasaan, termasuk rebutan pacar. Tokoh-tokoh yang cantik dan tampan selalu muncul dengan rumah mewah, mobil bagus, baju berganti-ganti, dan segala sesuatu yang serba “glamor”, mencitrakan gaya hidup hedonis, khas kaum kelas atas (borjuis) terus merajai program acara di berbagai stasiun televisi di tanah air, fungsi televisi akan berbalik menjadi sebuah senjata mematikan untuk menghancurkan generasi bangsa.

Apa kabar bangsa ini? jika remaja dan anak-anaknya tercekoki dengan berbagai hal negatif dan dibombardir dengan hal irasional jauh dari kenyataan hidup sehari-hari dari tayangan sinetron yang setiap hari mereka tonton. Betapa mirisnya ketika anak bangsa sendirilah yang perlahan tapi pasti menghancurkan masa depan bangsanya sendiri yang entah mereka sadari atau tidak. Ketika karya-karyanya membawa efek negatif dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Keharusan masyarakat,produser dan pemerintah bersinergi. Berupaya konsisten dan tegas guna sedikit demi sedikit membenahi keadaan. Kekritisan masyarakat dalam menyikapi berbagai tayangan sinetron juga harus di imbangi sikap tegas pemerintah memberikan batasan dan kriteria ideal dalam setiap tayangan televisi khususnya sinetron. Otomatis dari pihak produser dan stasiun televisi juga akan berusaha memenuhi apa yang sudah diatur dengan tegas oleh pemerintah.[vhati]

No comments:

Post a Comment